Mentari yang mulai menampakkan cahayanya, kini sulit untuk diredupkan kembali. Tak akan ku biarkan samudera yang hampir menenggelamkanku, duduk diam. Aku ikan kecil yang lemah akan segera menerobos samudera itu. Ku akan berlari sekencang satu juta tahun cahaya dan akan mengalahkannya untuk menggapai impianku. Tiba-tiba…
“Anak-anak, siapa yang ikutan tawuran?" desak seorang guru yang kemaharannya hampir memuncak.
"..................."
Semua anak-anak yang telah ketahuan terlibat dalam tawuran. Hanya terdiam membisu saja. Entah apa yang sedang mereka pikirkan saat itu.
"Ayo, jawab anak-anak!!" perintah guru itu sekali lagi.
Aku yang saat itu mendengar samar-samar pembicaraan tersebut. Hanya dapat menatap mereka dari kejauhan di balik jendela dengan perasaan sedih. Bagaikan suatu harapan yang di buang begitu saja tanpa mereka menaruh dari sedikit jutaan impian. Petikan suara gitar di iringi oleh vokal dari salah satu teman di kelasku membuat telingaku terus mendengung bahkan hampir tuli.
Beberapa detik kemudian, ada guru yang masuk kekelas kami. Guru yang disegani oleh semua siswa. Datang menghampiri kelasku.
Serentak kami mengucapkan salam "Selamat Pagi, Pak!"
"Selamat Pagi juga, anak-anak!" jawab Pak Guru kepada kami.
"Anak-anak, maafkan Bapak karena Bapak tidak dapat memberikan pelajaran pada hari ini"
Sentak hatiku merasa kecewa karena tidak dapat belajar seperti sedia kala.
"Anak-anak, ada teman-teman kita yang telah terlibat tawuran" lanjut Bapak.
Ingin kuberteriak sekencang halilintar. Tapi apa dayaku. Ku tak mampu melakukan hal itu.
"Jadi anak-anak tidak boleh melakukan hal yang kurang penting lebih baik kalian belajar. Atau melakukan kegiatan positif lainnya" kata Pak Guru.
"Baik Pak...." kami pun langsung menjawab.
Banyak anak di luar sana yang ingin mengejar sedikit mimpi yang ingin di raih mereka bahkan untuk memilikinya. Tapi terhalangi oleh seribu rintangan di depan. "Tuhan tolonglah teman-temanku agar mereka bisa mengerti betapa kejamnya dunia ini dan betapa sulitnya orang tua mereka menggais rejeki" jeritku dalam hati. Setelah Pak Guru pergi menjauh dari hadapanku dan tak tertinggal satu pun jejak darinya.